Artikel Aremania : "Jiwa Raga Untuk Arema"
Salam Satu Jiwa, Perkenalkan nama saya Nico Praditya. Saya adalah seorang mahasiswa komunikasi di sebuah universitas swasta di Yogyakarta. Sejak kecil, saya telah direcoki oleh ayah dengan sepakbola. Saya masih ingat betul pertama kali mengenal sepakbola ketika Piala Dunia 1998. Masih segar di ingatan saya bagaimana tajamnya Davor Suker di timnas Kroasia, Laurent Blanc yang selalu mengawali laga dengan mencium kepala gundul Barthez, hingga penyakit misterius yang diderita Sang Fenomena, Ronaldo, di partai puncak melawan Prancis.
Sejak itu, saya merasa kecanduan dengan sepakbola. Saya tidak peduli harus begadang hingga subuh hanya untuk menonton tim pujaan saya bertanding. Saya juga tidak peduli esok harinya harus terkantuk-kantuk di sekolah.
Saat itu, saya menjadi fans berat Fiorentina, karena kostum sepakbola pertama yang saya miliki adalah Fiorentina dengan tulisan “Batistuta” di punggung. Saat itu saya tergila-gila pada Batigol, Rui Costa, Di Livio, hingga Toricelli. Sebagai anak kecil yang mudah goyah pendiriannya, ketika partai Juventus vs Fiorentina, saya secara tiba-tiba mencintai permainan yang ditunjukan Juventus kala itu. Duet Pippo-Piero bagi saya adalah duet terbaik di dunia sepanjang masa. Sampai saat ini pun, Juventus tetap tim yang mampu membuat saya bergembira ketika menang, tp juga tim yang membuat saya susah tidur ketika mereka menelan kekalahan.
Sampai penghujung tahun 2009, saya tidak pernah mengenal sepakbola Indonesia. Jangankan untuk menonton langsung di stadion, melihat di televisi saja saya sudah miris melihat kekerasan-kekerasan yang terjadi di sepakbola kita. Hingga suatu ketika, saya disarankan oleh sahabat saya Andri (seorang Aremania yang memiliki ayah seorang BonekMania), untuk menonton film The Conductor. Atas rekomendasi teman saya itu, saya pun menonton film dokumenter tersebut. Ketika menonton film tersebut, hati saya bertanya-tanya “Siapa Yuli Sumpil ini? Bagaimana bisa dirinya memimpin puluhan ribu orang untuk bernyanyi dan bergoyang seperti itu? Kenapa wajah dari orang-orang ini terpancar semangat yang luar biasa hanya untuk mendukung tim yang bernama AREMA?”. Dua kata saya ucapkan setelah menonton film The Conductor, LUAR BIASA.
Sejak itu saya memiliki keinginan untuk bisa menginjakkan kaki di Stadion Kanjuruhan. Saya ingin merasakan bagaimana atmosfer yang bisa membuat saya merinding itu. Saya ingin bernyanyi “Arema..Arema Singo Edan..Singo Edan Aremania..lalalala”. Saya ingin melihat langsung Yuli Sumpil dan Cak No di hadapan saya. Kesempatan itu akhirnya datang juga ketika AREMA menjamu rival abadinya Persebaya di Stadion Kanjuruhan. Dari Jogja, saya berangkat seorang diri menuju Malang karena Andri dan teman saya satu lagi, Ian sudah berangkat terlebih dahulu sehari sebelumnya. Andri memiliki saudara sepupu bernama Nick Fatar di Malang, yang juga seorang Aremania. Sesampainya di terminal Arjosari, saya dijemput oleh mereka berdua kemudian istirahat sejenak di rumah Fatar yang berada di kawasan Batu. Setelah beristirahat sejenak, pukul 11 pagi pada hari pertandingan, saya bersama teman-teman meluncur ke rumah Yuli Sumpil, yang sebenarnya belum saya hubungi secara langsung karena saya susah mendapatkan nomor handphonenya.
Saya berangkat hanya bermodalkan informasi dari seorang Aremania bernama Agus Alwondo di facebook. Di perjalanan menuju rumah Yuli Sumpil, saya bertemu beberapa rombongan Aremania yang sudah meluncur ke Kanjuruhan. Di mobil-mobil mereka biasanya terpasang bendera Singo Edan di kap mesinnya. Padahal jam baru menunjukan pukul 11 pagi,sementara pertandingan baru akan dimulai pukul 7 malam nanti. Sebegitu antusiaskah mereka demi Arema? Kekaguman saya tidak berhenti sampai disitu, sepanjang jalan saya banyak melihat boneka singa berkalungkan syal biru berjejer seolah mengawal perjalanan hingga Kanjuruhan. Sebelum sampai di rumah Yuli Sumpil, saya menyempatkan diri untuk sekedar membeli kaos putih berlogo Arema yang sering saya lihat digunakan oleh Robert Albert Rene.
Sampai di rumah Yuli Sumpil, saya tidak bisa bertemu langsung dengan dirinya. Saya hanya bertemu dengan rekan-rekan Aremania yang sedang berada di rumah Yuli Sumpil. Di rumah Yuli Sumpil ini saya baru tahu bahwa tiket untuk pertandingan ini ibarat barang langka. Saat saya menunggu Yuli Sumpil di ruang tamunya, beberapa kali ada Aremania yang mencari Sam Yuli (saya baru tahu sam itu artinya mas juga setelah di Malang) sekedar menanyakan apakah masih ada tiket yang tersisa. Saya dan Ian akhirnya bertemu dengan Sam Yuli ketika hari menjelang sore. Sementara Andri dan Fatar sudah berangkat ke Kanjuruhan sebelumnya untuk mencari tiket terlebih dahulu (belakangan saya mendapat kabar mereka mendapat tiket dari calo seharga 60ribu, padahal harga normal adalah 25ribu).
Ian mewawancari Sam Yuli dan saya memotret untuk bahan tulisan di pers kampus saya. Dari wawancara itu saya mendapat beberapa point yang saya garisbawahi, “Aremania itu duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Aremania tidak memiliki ketua namun kita bisa berjalan beriringan dengan satu tujuan, yaitu mendukung Arema. Aremania boleh berpolitik, tetapi jangan sampai Aremania dipolitiki”. Setelah wawancara usai saya bersama Sam Yuli dan beberapa teman-teman Aremania berangkat ke Kanjuruhan menggunakan mobil bak terbuka. Sepanjang perjalanan mereka terus bernyanyi dan menabuh drum keras-keras. Saya belajar pelan-pelan lagu yang masih asing ditelinga saya, “Kami Arema..Salam Satu Jiwa, di Indonesia, khan slalu ada, slalu bersama, untuk kemenangan, kami Aa..ree..ma!!”.
Saya masih ingat jam menunjukan pukul 4 sore ketika rombongan kami sampai di Kanjuruhan. Artinya pertandingan baru dimulai 3 jam lagi. Tapi Kanjuruhan sudah penuh sesak bahkan sejak pukul 1 siang, bahkan untuk berjalan ke tribun papan skor saja susah karena tidak ada ruang kosong lagi. Sam Yuli langsung menaiki singgasananya dan langsung menarik perhatian seisi stadion kala itu. Tak sampai 10 detik, semua orang berdiri untuk memberikan nyanyian bagi Arema. Bahkan tribun VIP pun tak mau ketinggalan untuk beraksi!! Semua yang ada di depan mata saya, jauh lebih hebat daripada yang saya bayangkan. Kalau saya menjadi pemain Persebaya kala itu, pasti kaki saya terasa tak bertulang ketika memasuki lapangan. Pemain mana yang tidak ciut hatinya mendengar gemuruh yang ditimbulkan Aremania.
Perlu pembaca ketahui, saya adalah seorang keturunan Tiong Hoa. Saya sempat berpikir, apakah saya bisa berbaur dan diterima seperti yang lainnya? Tapi apa yang saya dapat waktu itu? Sambutan hangat dari rekan-rekan Aremania, seolah-olah ras dan suku bukanlah suatu halangan untuk bersama mendukung Arema. Saya juga tidak peduli lagi dengan ras dan suku, waktu itu saya hanya berusaha mengeluarkan suara saya sekencang-kencangnya untuk mendukung arema. Saya juga bergoyang mengikuti gerakan sam yuli. Pita suara saya pun rasanya hampir putus ketika tendangan penalti Papa Njanka mengoyak gawang Saefuddin. Walaupun ini pengalaman pertama saya menonton Arema secara langsung, rasanya saya lebih mencintai Arema daripada Juventus yang telah dari kecil saya dukung.
Perjalanan pulang pun menjadi hal yang menyenangkan karena saya dan rekan-rekan Aremania melakukan konvoi kemenangan atas Persebaya. Satu lagi poin plus dimata saya untuk Arema, konvoi kemenangan ini dilakukan dengan tertib, tanpa merugikan pengguna jalan lainnya. Berbeda sekali bukan dengan suporter-suporter lain yang selalu menghiasi layar kaca kita dengan aksi kekerasan. Konvoi ini berlangsung hingga tengah malam, dan di perjalanan pulang saya ke Batu, masih terngiang-ngiang sebuah lagu di telinga saya, “Tinggalkan ras tinggalkan suku,satu tekad dukung Arema..”. Sejak saat itu, saya adalah Aremania.. Klub yang bisa membuat saya tersenyum bahagia di SUBGK ketika arema menutup kompetisi ISL sebagai juara. Tapi juga bisa membuat saya menitikkan air mata di Manahan, ketika melihat Arema kalah 2-1 dari SFC di final Piala Indonesia. Ah sudahlah, kalah menang hati saya tetap untuk Arema Indonesia.
Salam Satu Jiwa
Salam Satu Jiwa, Perkenalkan nama saya Nico Praditya. Saya adalah seorang mahasiswa komunikasi di sebuah universitas swasta di Yogyakarta. Sejak kecil, saya telah direcoki oleh ayah dengan sepakbola. Saya masih ingat betul pertama kali mengenal sepakbola ketika Piala Dunia 1998. Masih segar di ingatan saya bagaimana tajamnya Davor Suker di timnas Kroasia, Laurent Blanc yang selalu mengawali laga dengan mencium kepala gundul Barthez, hingga penyakit misterius yang diderita Sang Fenomena, Ronaldo, di partai puncak melawan Prancis.
Sejak itu, saya merasa kecanduan dengan sepakbola. Saya tidak peduli harus begadang hingga subuh hanya untuk menonton tim pujaan saya bertanding. Saya juga tidak peduli esok harinya harus terkantuk-kantuk di sekolah.
Saat itu, saya menjadi fans berat Fiorentina, karena kostum sepakbola pertama yang saya miliki adalah Fiorentina dengan tulisan “Batistuta” di punggung. Saat itu saya tergila-gila pada Batigol, Rui Costa, Di Livio, hingga Toricelli. Sebagai anak kecil yang mudah goyah pendiriannya, ketika partai Juventus vs Fiorentina, saya secara tiba-tiba mencintai permainan yang ditunjukan Juventus kala itu. Duet Pippo-Piero bagi saya adalah duet terbaik di dunia sepanjang masa. Sampai saat ini pun, Juventus tetap tim yang mampu membuat saya bergembira ketika menang, tp juga tim yang membuat saya susah tidur ketika mereka menelan kekalahan.
Sampai penghujung tahun 2009, saya tidak pernah mengenal sepakbola Indonesia. Jangankan untuk menonton langsung di stadion, melihat di televisi saja saya sudah miris melihat kekerasan-kekerasan yang terjadi di sepakbola kita. Hingga suatu ketika, saya disarankan oleh sahabat saya Andri (seorang Aremania yang memiliki ayah seorang BonekMania), untuk menonton film The Conductor. Atas rekomendasi teman saya itu, saya pun menonton film dokumenter tersebut. Ketika menonton film tersebut, hati saya bertanya-tanya “Siapa Yuli Sumpil ini? Bagaimana bisa dirinya memimpin puluhan ribu orang untuk bernyanyi dan bergoyang seperti itu? Kenapa wajah dari orang-orang ini terpancar semangat yang luar biasa hanya untuk mendukung tim yang bernama AREMA?”. Dua kata saya ucapkan setelah menonton film The Conductor, LUAR BIASA.
Sejak itu saya memiliki keinginan untuk bisa menginjakkan kaki di Stadion Kanjuruhan. Saya ingin merasakan bagaimana atmosfer yang bisa membuat saya merinding itu. Saya ingin bernyanyi “Arema..Arema Singo Edan..Singo Edan Aremania..lalalala”. Saya ingin melihat langsung Yuli Sumpil dan Cak No di hadapan saya. Kesempatan itu akhirnya datang juga ketika AREMA menjamu rival abadinya Persebaya di Stadion Kanjuruhan. Dari Jogja, saya berangkat seorang diri menuju Malang karena Andri dan teman saya satu lagi, Ian sudah berangkat terlebih dahulu sehari sebelumnya. Andri memiliki saudara sepupu bernama Nick Fatar di Malang, yang juga seorang Aremania. Sesampainya di terminal Arjosari, saya dijemput oleh mereka berdua kemudian istirahat sejenak di rumah Fatar yang berada di kawasan Batu. Setelah beristirahat sejenak, pukul 11 pagi pada hari pertandingan, saya bersama teman-teman meluncur ke rumah Yuli Sumpil, yang sebenarnya belum saya hubungi secara langsung karena saya susah mendapatkan nomor handphonenya.
Saya berangkat hanya bermodalkan informasi dari seorang Aremania bernama Agus Alwondo di facebook. Di perjalanan menuju rumah Yuli Sumpil, saya bertemu beberapa rombongan Aremania yang sudah meluncur ke Kanjuruhan. Di mobil-mobil mereka biasanya terpasang bendera Singo Edan di kap mesinnya. Padahal jam baru menunjukan pukul 11 pagi,sementara pertandingan baru akan dimulai pukul 7 malam nanti. Sebegitu antusiaskah mereka demi Arema? Kekaguman saya tidak berhenti sampai disitu, sepanjang jalan saya banyak melihat boneka singa berkalungkan syal biru berjejer seolah mengawal perjalanan hingga Kanjuruhan. Sebelum sampai di rumah Yuli Sumpil, saya menyempatkan diri untuk sekedar membeli kaos putih berlogo Arema yang sering saya lihat digunakan oleh Robert Albert Rene.
Sampai di rumah Yuli Sumpil, saya tidak bisa bertemu langsung dengan dirinya. Saya hanya bertemu dengan rekan-rekan Aremania yang sedang berada di rumah Yuli Sumpil. Di rumah Yuli Sumpil ini saya baru tahu bahwa tiket untuk pertandingan ini ibarat barang langka. Saat saya menunggu Yuli Sumpil di ruang tamunya, beberapa kali ada Aremania yang mencari Sam Yuli (saya baru tahu sam itu artinya mas juga setelah di Malang) sekedar menanyakan apakah masih ada tiket yang tersisa. Saya dan Ian akhirnya bertemu dengan Sam Yuli ketika hari menjelang sore. Sementara Andri dan Fatar sudah berangkat ke Kanjuruhan sebelumnya untuk mencari tiket terlebih dahulu (belakangan saya mendapat kabar mereka mendapat tiket dari calo seharga 60ribu, padahal harga normal adalah 25ribu).
Ian mewawancari Sam Yuli dan saya memotret untuk bahan tulisan di pers kampus saya. Dari wawancara itu saya mendapat beberapa point yang saya garisbawahi, “Aremania itu duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Aremania tidak memiliki ketua namun kita bisa berjalan beriringan dengan satu tujuan, yaitu mendukung Arema. Aremania boleh berpolitik, tetapi jangan sampai Aremania dipolitiki”. Setelah wawancara usai saya bersama Sam Yuli dan beberapa teman-teman Aremania berangkat ke Kanjuruhan menggunakan mobil bak terbuka. Sepanjang perjalanan mereka terus bernyanyi dan menabuh drum keras-keras. Saya belajar pelan-pelan lagu yang masih asing ditelinga saya, “Kami Arema..Salam Satu Jiwa, di Indonesia, khan slalu ada, slalu bersama, untuk kemenangan, kami Aa..ree..ma!!”.
Saya masih ingat jam menunjukan pukul 4 sore ketika rombongan kami sampai di Kanjuruhan. Artinya pertandingan baru dimulai 3 jam lagi. Tapi Kanjuruhan sudah penuh sesak bahkan sejak pukul 1 siang, bahkan untuk berjalan ke tribun papan skor saja susah karena tidak ada ruang kosong lagi. Sam Yuli langsung menaiki singgasananya dan langsung menarik perhatian seisi stadion kala itu. Tak sampai 10 detik, semua orang berdiri untuk memberikan nyanyian bagi Arema. Bahkan tribun VIP pun tak mau ketinggalan untuk beraksi!! Semua yang ada di depan mata saya, jauh lebih hebat daripada yang saya bayangkan. Kalau saya menjadi pemain Persebaya kala itu, pasti kaki saya terasa tak bertulang ketika memasuki lapangan. Pemain mana yang tidak ciut hatinya mendengar gemuruh yang ditimbulkan Aremania.
Perlu pembaca ketahui, saya adalah seorang keturunan Tiong Hoa. Saya sempat berpikir, apakah saya bisa berbaur dan diterima seperti yang lainnya? Tapi apa yang saya dapat waktu itu? Sambutan hangat dari rekan-rekan Aremania, seolah-olah ras dan suku bukanlah suatu halangan untuk bersama mendukung Arema. Saya juga tidak peduli lagi dengan ras dan suku, waktu itu saya hanya berusaha mengeluarkan suara saya sekencang-kencangnya untuk mendukung arema. Saya juga bergoyang mengikuti gerakan sam yuli. Pita suara saya pun rasanya hampir putus ketika tendangan penalti Papa Njanka mengoyak gawang Saefuddin. Walaupun ini pengalaman pertama saya menonton Arema secara langsung, rasanya saya lebih mencintai Arema daripada Juventus yang telah dari kecil saya dukung.
Perjalanan pulang pun menjadi hal yang menyenangkan karena saya dan rekan-rekan Aremania melakukan konvoi kemenangan atas Persebaya. Satu lagi poin plus dimata saya untuk Arema, konvoi kemenangan ini dilakukan dengan tertib, tanpa merugikan pengguna jalan lainnya. Berbeda sekali bukan dengan suporter-suporter lain yang selalu menghiasi layar kaca kita dengan aksi kekerasan. Konvoi ini berlangsung hingga tengah malam, dan di perjalanan pulang saya ke Batu, masih terngiang-ngiang sebuah lagu di telinga saya, “Tinggalkan ras tinggalkan suku,satu tekad dukung Arema..”. Sejak saat itu, saya adalah Aremania.. Klub yang bisa membuat saya tersenyum bahagia di SUBGK ketika arema menutup kompetisi ISL sebagai juara. Tapi juga bisa membuat saya menitikkan air mata di Manahan, ketika melihat Arema kalah 2-1 dari SFC di final Piala Indonesia. Ah sudahlah, kalah menang hati saya tetap untuk Arema Indonesia.
Salam Satu Jiwa